Sepertinya masalah pun dimulai, kalau benar ini memang sebuah masalah. Sebenernya ini cuma semacam pertentangan di otak gue aja, bukan masalah. Atau mungkin gue yang nggak mau mengakui kalau ini adalah masalah, karena gue percaya masalah berarti ada sesuatu yang nggak beres. Sesuatu yang berjalan tidak semestinya, diluar keinginan gue.
Dan gue nggak mau mengakui itu.
Simpel aja. Gue kesepian. Dan ini udah tingkat tinggi banget. Mungkin gue emang cengeng, tapi siapa yang nggak kalau mereka ada di posisi ini? Satu-satunya sandaran yang gue punya cuma dia, karena meskipun sahabat-sahabat SMA gue akan selalu jadi temen baik gue, they're my old friends. And old friends didn't watch your struggle by days, but months. Sahabat yang gue punya di kampus lama sepertinya udah hilang ditelan bumi, lantas siapa lagi yang gue punya kalau bukan Bosco?
Tapi setiap orang punya kesibukan. Dan jadi pacar seseorang nggak berarti gue bisa punya waktu sama dia sesuka hati gue. Bukan berarti juga gue bisa dapet perlakuan khusus. Sometimes I can't help myself to think that it's all the same. Satu-satunya perbedaan cuma perasaan, tapi gue rasa itu lebih dari cukup.
Gue berencana untuk menghandle semua ini sendirian. Lebih baik begitu, daripada percaya kalo ada orang yang bisa dijadikan sandaran tapi saat gue perlu, sandaran itu nggak ada. Bukannya jahat, gue cuma pengen mempermudah hidup dengan merubah mindset.
Ya. Sendiri lebih baik. Setidaknya gue nggak ngerepotin orang lain dengan rengekan gue yang cengeng dan nggak bersikap manja. Gue nggak mau ganggu dia, karena itu gue rasa one-call-for-two-days-policy bakal bikin dia merasa lebih nyaman.
Kadang gue ngerasa terlalu memikirkan dia lebih dari kepentingan diri gue sendiri. Mungkin itu benar, mungkin juga nggak. I'll deal with it later though sometimes I wish he do the same. Or even just think about it.
Everybody will leave eventually anyway.
No comments:
Post a Comment